Kebijakan Amerika tolak hasil laut Indonesia |
Selama menjadi menteri, Susi berambisi mengoptimalkan hasil laut dan perikanan Indonesia. Selama ini, hasil laut Indonesia kalah dibandingkan Malaysia dan Thailand. Padahal, Indonesia adalah negara nomor dua dengan lautan terpanjang di dunia.
"Kita dua per tiga laut dan kita negara nomor dua lautan terpanjang di dunia. Angka ekspor perikanan seperlima Thailand bahkan sekarang seperdelapan. Sebuah ironi kita semua wajib membetulkan. Prioritas utama saya begini karena Pak Jokowi, prinsip Pak Jokowi, pola berpikir Jokowi. Kalau tidak begitu saya tidak terima pekerjaan ini," ucap Susi di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, (8/11/2014) silam.
Kala itu, Susi berjanji akan memaksimalkan hasil laut untuk kesejahteraan nelayan. "Kita harus mencegah kerusakan banyak dan memberikan pada nelayan. Sekarang 80 persen nelayan di bawah kesejahteraan," katanya.
Meski demikian, ada saja cara negara asing untuk 'mematikan' potensi hasil laut Indonesia. Salah satunya Amerika Serikat dengan kebijakannya.
Amerika Serikat berencana akan memberlakukan Seafood Import Monitoring Program (SIMP) pada September 2016. Aturan ini bisa berdampak pada kinerja ekspor perikanan nasional. Kementerian Perdagangan secara langsung meminta para pelaku usaha khususnya pada bidang perikanan untuk mencermati aturan ini.
"Rancangan peraturan melalui skema SIMP rencananya akan diberlakukan pada Agustus atau September 2016 ini. Kami minta semua pelaku usaha di bidang perikanan memperhatikan aturan ini dengan cermat," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Dody Edward, dalam siaran pers yang diterima, di Jakarta, Selasa (9/8).
Dody mengatakan, pihaknya memantau secara ketat rencana pemberlakuan rancangan peraturan ekspor ikan ke Amerika Serikat (AS) melalui skema SIMP tersebut. Indonesia sangat berkepentingan terhadap aturan ini karena bisa berdampak pada kinerja ekspor perikanan nasional.
"US National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) adalah pihak mengusulkan rancangan peraturan "US SIMP" dan "US Commerce Trusted Trader Program".
Skema SIMP yang diusulkan NOAA pada intinya mengatur tiga hal pokok. Pertama, pengklasifikasian "at-risk species" yaitu 17 spesies yang pernah tercatat sebagai hasil "Illegal Unreported Unregulated Fishing" (IUUF). Kedua, penerapan kewajiban "traceability" dan sertifikasi tangkap bagi at-risk species produk perikanan hasil tangkap maupun budi daya.
Ketiga, penyediaan informasi rantai pasok mulai dari kapal, lokasi tangkap/budi daya, alat tangkap, proses pengangkutan, pengolahan, sampai dengan proses ekspor.
Dody menjelaskan, ada tiga alasan spesifik mengapa aturan tersebut penting untuk dicermati semua pihak, yakni sebagian besar sebanyak 84 persen produk ekspor ikan dan produk ikan Indonesia dikelompokkan ke dalam kelompok at-risk species.
Kemudian, kewajiban traceability dan sertifikasi tangkap bagi at-risk species ini hanya diberlakukan bagi negara eksportir, sedangkan pelaku usaha lokal AS dibebaskan dari kewajiban tersebut, dan data rantai pasok mulai dari pelabuhan pengiriman (port of harvest) hingga pelabuhan destinasi (port of commerce) yang rencananya hanya dapat diakses Pemerintah AS.
"Ditjen Perdagangan Luar Negeri secara aktif terus mengikuti perkembangan dan berpartisipasi secara aktif dalam berbagai tahapan penyusunan rancangan peraturan ini agar tidak mengganggu ekspor perikanan nasional," ujar Dody.
Berdasarkan data BPS, ekspor produk perikanan Indonesia ke dunia pada 2015 tercatat mencapai USD 3,60 miliar. Dari nilai tersebut, pangsa ekspor produk perikanan ke AS mencapai 40 persen atau tercatat sebesar USD 1,44 miliar pada 2015. Nilai tersebut mengalami penurunan 21 persen atau USD 0,39 miliar dibandingkan tahun 2014 yang sebesar USD 1,83 miliar.
Sementara pada periode Januari-Mei 2016 kinerja ekspor produk perikanan ke dunia mengalami peningkatan sebesar dua persen bila dibandingkan dengan Januari-Mei 2015, dari sebelumnya USD 1,52 miliar menjadi USD 1,56 miliar. Beberapa negara tujuan ekspor utama Indonesia pada 2015 yaitu Amerika, Jepang, dan Inggris.
Menurut Dody, peraturan tersebut harus dilihat secara cermat karena Amerika merupakan negara tujuan utama ekspor perikanan nasional. Kemendag juga berkoordinasi dengan kementerian lembaga terkait dan asosiasi perikanan untuk membahas langkah-langkah antisipatif menghadapi pemberlakuan SIMP.
Beberapa upaya dilakukan, misalnya melakukan lobi ke dalam Indonesia-US MoU on Maritime Cooperation dan pelaksanaan "FAO Port State Measures Agreement". Selain itu, Ditjen Daglu juga melakukan sosialisasi kepada pelaku usaha perikanan agar memahami rencana pemberlakuan skema traceability tersebut.
Tak hanya itu, Amerika Serikat juga berencana akan menolak rumput laut Indonesia.
Rumput laut sebagai salah satu komoditas andalan hasil kelautan Indonesia terancam ekspornya ke pasar luar negeri, khususnya pasar Amerika Serikat (AS). Hal ini disebabkan rencana delisting (dikeluarkan) produk rumput laut dari daftar bahan pangan organik Indonesia di AS. Produk rumput laut dinilai tidak lagi layak memenuhi kriteria bahan pangan organik. "Pemberlakuan delisting berpotensi menurunkan ekspor komoditas rumput laut Indonesia ke Amerika yang pada 2015 mendekati angka USD 1 juta," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Dody Edward dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (9/8).
Dody mengatakan, rencana Amerika tersebut perlu lebih diwaspadai dikarenakan perkembangan tersebut dapat menjadi preseden bagi negara tujuan ekspor rumput laut lainnya seperti Uni Eropa untuk juga melakukan hal yang sama.
Indonesia bahkan berpotensi mengalami kerugian hingga USD 160,4 juta apabila semua pasar tujuan ekspor memberlakukan hal yang sama seperti AS. Komoditas rumput laut merupakan prime mover perekonomian masyarakat laut dan pesisir Indonesia.
Selain itu, Indonesia merupakan produsen utama rumput laut di dunia serta menyerap banyak tenaga kerja di daerah pesisir dan pulau-pulau terluar Indonesia. Selama ini rumput laut menjadi bahan baku carrageenan dan agar-agar.
Rencana delisting produk rumput laut dari daftar bahan pangan organic tersebut dipicu petisi Joanne K. Tobacman, M.D. (Tobacman) dari University of Illinois, Chicago, pada Juni 2008 kepada US Food and Drug Administration (FDA), yang berisi melarang penggunaan carrageenan sebagai bahan tambahan makanan yang terbuat dari rumput laut.
Berdasarkan penelitian Tobacman, ditengarai carrageenan dapat menyebabkan peradangan atau inflamasi yang memicu kanker. Namun, petisi tersebut ditolak US FDA pada Juni 2008.
Kemudian, petisi Tobacman tersebut diikuti publikasi LSM Cornucopia Institute dari AS pada Maret 2013. LSM itu mendorong publik meminta US National Organic Standards Board (NOSB) agar mengeluarkan carrageenan dari daftar bahan pangan organik.
"Rencananya, pada November 2016 US NOSB akan menentukan apakah carrageenan tetap akan masuk pada National List of Allowed and Prohibited Substances yang diperbolehkan dalam makanan organik atau tidak, setelah sebelumnya mendapat masukan dari berbagai pihak," ujar Dody.
Saat ini, konsumsi pangan organik di dunia menunjukkan peningkatan tren pertumbuhan karena didorong isu-isu kesehatan yang memicu meningkatnya nilai perdagangan produk organik. Apabila produk rumput laut dikeluarkan dari daftar bahan pangan organik, maka hal itu akan merugikan Indonesia.
Dody menegaskan, saat ini Direktorat Pengamanan Perdagangan Kemendag secara aktif memantau perkembangan rencana delisting terhadap produk rumput laut tersebut.
"Kami harapkan kerja sama dari Kementerian/Lembaga terkait, asosiasi dan akademisi guna membahas langkah-langkah yang dapat membatalkan rencana delisting produk rumput laut tersebut," ujar Dody.
Selain itu, Dody meminta terus dilakukan pembinaan kepada pelaku usaha produk kelautan Indonesia untuk menjaga kualitas rumput laut sehingga menghasilkan mutu yang baik sebagai bahan pangan organik agar ekspor rumput laut Indonesia di pasar international terjaga keberlangsungannya.
Selama ini, Indonesia merupakan pemasok utama dunia untuk komoditas rumput laut dengan pangsa pasar 41 persen tahun 2013. Lima negara pemasok rumput laut terbesar dunia adalah Indonesia, Korea Selatan, Chili, China dan Irlandia.
Pada tahun 2015, tercatat ekspor Indonesia mencapai USD 160,41 juta. Sementara ekspor tertinggi terjadi pada 2014 yang mencapai USD 206,30 juta. (merdeka)
Post a Comment